Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Indonesia dilandasi pasal 33 UUD 1945. Dengan konsep Hak Menguasai Negara (HMN), politik PSDA di Indonesia yang diwakili oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945 berpusat pada kekuasaan yang besar dari negara terhadap penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan sumber daya alam.
Paradigma HMN merupakan salah satu penyebab dasar kerusakan berbagai ekosistem, penyusutan kekayaan alam dan dehumanisasi di Indonesia. Jika dikaitkan dengan isu gender tidak terlihat hubungan dengan penyebab dasar tersebut. Tetapi jika ditelusuri tentang bagaimana cara penilaian, pengalokasian, dan penghargaan kekayaan ekosistem hutan, bagaimana dan oleh siapa kekayaan ekosistem hutan dimanfaatkan, di mana terjadi kerusakan dan penyusutan kekayaan ekosistem hutan serta adakah pihak yang mengalami kerugian atas pemanfaatan kekayaan ekosistem hutan. Maka kita akan menemukan aspek gender dalam penguasaan dan pengelolaan kekayaan ekosistem tersebut. Dalam paradigma HMN, isu sosial (terutama dari aspek manusianya) dipandang sebagai seperangkat batasan sosial dan kultural yang bisa diatasi secara seragam (generalisasi) melalui penyebaran teknologi ke wilayah pedesaan dan suntikan modal tambahan ke dalam bentuk produksi non kapitalis dan non komersial. Aspek manusia ditempatkan sebagai penerima pasif hasil pengelolaan kekayaan alam yang dirancang dan didominasi oleh sekelompok subjek dari luar. Dikarenakan paradigma HMN tidak memaknai manusia sebenarnya adalah perempuan dan laki-laki yang memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda. Di sebagian besar wilayah di Indonesia, upaya pembangunan tersebut telah menyebabkan perubahan tatanan sosial masyarakat. Konsep pembagian peran dan posisi tawar antara perempuan dan laki-laki dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam juga berubah seiring dengan berubahnya tatanan sosial mereka.
Kelangkaan hukum atau kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang mempertimbangkan isu sosial (terutama dari aspek manusianya) menyebabkan peran dan posisi perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam semakin tidak terakomodir, bahkan tidak terlindungi dalam kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang ada saat ini. Secara normatif, penguasaan sumber daya alam lebih banyak berada di tangan laki-laki. Hukum normatif tidak berpihak kepada perempuan dan hampir tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk dapat menguasai dan memegang kontrol atas pengelolaan sumber daya alam tersebut secara bebas. Posisi perempuan sangatlah tidak diuntungkan dalam hukum, padahal dalam prakteknya untuk mengatasi kemiskinan keluarga, perempuanlah yang sering menempatkan diri sebagai survivor. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih didasari oleh paradigma Hak Menguasai oleh Negara yang semakin memarjinalkan perempuan.