Penugasan
Pemberian IUPHHK-HT besar-besaran di Provinsi Riau dipicu oleh berdirinya dua pabrik pulp (bubur kertas) dan kertas raksasa dengan total kapasitas terpasang 4 juta ton. Dua pabrik ini adalah PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) dan PT Indah Kiat dengan kapasitas terpasang masing-masing 2 juta ton per tahun. PT RAPP membutuhkan bahan baku kayu sedikitnya 9,5 juta ton per tahun yang didapat dari IUPHHK-HT PT RAPP dan sumber lainnya. PT Indah Kiat mendapatkan suplai kayu dari PT Arara Abadi dan beberapa perusahaan lainnya.(IWGFF 2010) Hingga 2008, teridentifikasi 71 IUPHHK-HT di Provinsi Riau dengan total luas sekitar 1.873.258 hektar (Tim Terpadu RTRWP Riau 2008 Unpublish). Hegemoni penguasaan lahan oleh APP dan APRIL kemudian memicu berbagai konflik lahan. Salah satu contoh aktualnya adalah konflik di Pulau Padang.
-Pada 12 Juni 2009, Menteri Kehutanan menerbitkan IUPHHK-HT terhadap PT RAPP pada kawasan yang semestinya ditetapkan sebagai kawasan lindung menurut PP Nomor 26 Tahun 2008, yang juga melanggar TGHK, RTRWP, dan RTRWK. Pemberian izin ini merupakan tindak pidana penataan ruang sebagaimana diatur dalam Pasal 73 UU Nomor 26 Tahun 2007. Namun, sampai akhir Mei 2011, aktivitas land clearing masih tetap dilakukan di sektor lain, sedangkan untuk sektor Pulau Padang masih dalam tahap persiapan land clearing. Atas pelanggaran ini, tidak ada pihak yang melakukan gugatan pidana atas izin yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Proses keberatan dari masyarakat Kepulauan Meranti terhadap Menteri Kehutanan tidak ditanggapi oleh Departemen Kehutanan sehingga memunculkan gejolak sosial di tengah masyarakat (terjadi pembakaran dua eskavator milik perusahaan pada Mei 2011).
-Berikut ini kronologi perizianannya: (1) 19 Januari 2004: PT RAPP mengajukan permohonan penambahan areal IUPHHK-HT. (2) 29 April 2004: Menteri Kehutanan meminta PT RAPP untuk menyelesaikan administrasi di antaranya: meminta rekomendasi gubernur dan bupati, menyusun studi kelayakan, menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), konsultasi dengan Badan Planologi Kehutanan. (3) 15 Juni 2004: PT RAPP meminta rekomendasi Gubernur Riau. (4) 16 Juni 2004: Pertimbangan teknis Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau menyetujui dengan tiga persyaratan (salah satunya meminta Menteri Kehutanan untuk mengubah fungsi kawasan hutan sebelum izin diberikan). (5) 10 Juli 2004: Keluar rekomendasi Gubernur Riau dengan persyaratan yang sama dengan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau. (6) 11 November 2004: Gubernur Riau mengeluarkan surat kelayakan lingkungan hidup. (7) 11 Oktober 2005: Keluar rekomendasi Bupati Bengkalis. (8) 6 Juli 2006: Gubernur Riau membatalkan surat kelayakan lingkungan hidup. (9) 12 Juni 2009: Menteri Kehutanan mengeluarkan IUPHHK-HT terhadap PT RAPP. (10) 2 September 2009: Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau mengajukan keberatan terhadap keputusan Menteri Kehutanan dengan empat pertimbangan. Salah satu pertimbangannya, sebagian kawasan IUPHHK-HT tersebut tidak sesuai dengan TGHK.
-Dari kronologi keluarnya izin ini dapat dilihat beberapa persoalan. (1) Rekomendasi Bupati Bengkalis tidak mempertimbangkan RTRWK Bengkalis. (2) Pertimbangan teknis dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan Gubernur Riau tidak mempertimbangkan RTRWP Riau, tetapi masih mempertimbangkan TGHK. (3) Badan Planologi Kehutanan dan Menteri Kehutanan tidak mempertimbangkan TGHK serta mengabaikan saran Kepala Dinas Kehutanan dan Gubernur Riau. (4) Studi Amdal yang dibuat perusahaan tidak menjelaskan bahwa pada kawasan tersebut merupakan kawasan bergambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter dan harus dilindungi menurut aturan perundangan, serta tidak dijelaskan tentang dampak penurunan permukaan tanah yang berpotensi menenggelamkan pulau tersebut. (5) Menteri Kehutanan mengeluarkan izin dengan mengabaikan RTRWN, TGHK, dan kelayakan lingkungan. Tidak ada pertimbangan pemberian izin terhadap UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang tata ruang kawasan pesisir dan pulau kecil sebagai ekosistem yang rentan terhadap dampak lingkungan. Dari kelima penyimpangan tersebut dapat disimpulkan bahwa IUPHHK-HT melanggar empat aturan perundangan, yaitu UU Nomor 41 Tahun 1999, UU Nomor 26 Tahun 2007, UU Nomor 27 Tahun 2007, dan UU Nomor 32 Tahun 2010. Selain itu, pemberian IUPHHK-HT pada sektor Pulau Padang melanggar RTRWN, TGHK, RTRWP, dan RTRWK karena tidak sesuai dengan peruntukan zonasi kawasan hutan pada wilayah tersebut (Raflis, 2011).